Minggu

Kewarganegaraan Ganda untuk Anak

TATA CARA PENDAFTARAN UNTUK KEWARGANEGARAAN GANDA ANAK


Berikut merupakan keterangan tambahan mengenai tata cara pendaftaran untuk memperoleh kewarganegaraan ganda bagi anak. Tulisan ini juga merupakan jawaban atas salah satu pertanyaan yang disampaikan oleh pengunjung setia Jurnal Hukum ini. Semoga juga memberi manfaat bagi khalayak banyak.

***

Yth. Ibu Santi
Di –
Tempat

UU Kewarganegaraan baru yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 ("UU No.12/2006") telah menyebutkan dalam Pasal 4 bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang sah antara seorang ayah Warganegara Asing (WNA) dan seorang ibu Warganegara Indonesia (WNI) termasuk sebagai Warga Negara Indonesia. Bagi anak-anak yang lahir sebelum UU ini disahkan, seperti halnya dalam kasus anak-anak Ibu, maka berdasarkan Pasal 41 UU No.12/2006 anak-anak tersebut (dengan syarat belum berusia 18 tahun dan belum kawin) dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan cara mendaftarkan diri pada Menteri melalui pejabat atau perwakilan republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah UU No.12/2006 diundangkan.

Tata cara pendaftaran diatur dalam peraturan pelaksanaan dari UU No.12/2006 yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 41 Dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Pendaftaran untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak yang berayahkan WNA dan beribukan WNI dilakukan oleh salah seorang dari orang tua atau walinya dengan mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup. Permohonan pendaftaran tersebut bagi anak yang bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia diajukan kepada Menteri melalui Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Permohonan pendaftaran bagi anak yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia diajukan kepada Menteri melalui Kepala Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Dalam hal di negara tempat tinggal anak belum terdapat Perwakilan Republik Indonesia, maka permohonan pendaftaran dilakukan melalui Kepala Perwakilan Republik Indonesia terdekat.

Dengan demikian, jika anak-anak Ibu bertempat tinggal di Malaysia, maka dapat mengajukan permohonannya melalui KBRI di Kuala Lumpur atau Konsulat Jenderal RI yang terdekat dengan kediaman anak. Begitu pun halnya jika bertempat tinggal di Jerman, dapat menghubungi KBRI atau KonJen RI yang terkait.

Permohonan pendaftaran sekurang-kurangnya memuat:

  1. nama lengkap, alamat tempat tinggal salah seorang dari orang tua atau wali anak;
  2. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir serta kewarganegaraan kedua orang tua;
  3. nama lengkap, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan anak serta hubungan hukum kekeluargaan anak dengan orang tua; dan
  4. kewarganegaraan anak.

Permohonan pendaftaran harus dilampiri dengan:
  1. fotokopi kutipan Akte kelahiran anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia;
  2. surat pernyataan dari orang tua atau wali bahwa anak belum kawin;
  3. fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor orang tua anak yang masih berlaku yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia; dan
  4. pas foto anak terbaru berwarna ukuran 4X6 cm sebanyak 6 (enam) lembar.
Selain lampiran sebagaimana dimaksud bagi anak yang lahir dari perkawinan yang sah harus melampirkan fotokopi kutipan Akte perkawinan/buku nikah. Apabila orang tua bercerai atau salah satu diantaranya telah meninggal dunia, maka dengan melampirkan kutipan Akte perceraian/surat talak/perceraian atau keterangan/kutipan Akte kematian salah seorang dari orang tua anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia. Permohonan pendaftaran menggunakan bentuk formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran I Peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut.

Dalam hal permohonan pendaftaran telah dinyatakan lengkap, Menteri menetapkan keputusan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak permohonan pendaftaran diterima dari Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia.

Keputusan tersebut dibuat dalam rangkap 3 (tiga), dengan ketentuan:
  1. rangkap pertama diberikan kepada orang tua atau wali anak melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia;
  2. rangkap kedua dikirimkan kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia sebagai arsip; dan
  3. rangkap ketiga disimpan sebagai arsip Menteri.
Keputusan Menteri tersebut disampaikan kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Keputusan Menteri ditetapkan. Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia menyampaikan Keputusan Menteri tersebut kepada orang tua atau wali anak yang memohon pendaftaran paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Keputusan Menteri diterima. Permohonan pendaftaran anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat diproses apabila telah diajukan secara lengkap kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat pada tanggal 1 Agustus 2010. Dalam hal permohonan pendaftaran anak diajukan secara lengkap kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia melalui pos hanya dapat diproses apabila stempel pos pengiriman tertanggal paling lambat tanggal 1 Agustus 2010.

Dengan demikian anak-anak Ibu akan memiliki kewarganegaraan ganda, dan di usia 18 tahun nanti atau sebelumnya apabila menikah sebelum 18 tahun, anak-anak Ibu harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraan tersebut.

Untuk lebih lengkapnya, saya lampirkan:
  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;
  2. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.03-PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Demikian penjelasan kami, semoga membantu.

Salam Hormat,

Tim Jurnal Hukum
(pmf/ck)


***

REFERENSI:
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara memperoleh Kembali Kewarganegaraan republik Indonesia;
  • Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan republik Indonesia Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan republik Indonesia;
  • Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M.02-HL.05.06 Tahun 2006 tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi Warga Negara Indonesia

Status Anak Luar Kawin

TANYA JAWAB TENTANG STATUS ANAK LUAR KAWIN

Menanggapi pertanyaan yang disampaikan oleh Sdr. Adit (Universitas Brawijaya) dan Ibu Riku (Individual) mengenai “Status Anak Luar Kawin dari Perkawinan Campuran” (red- dari pasangan beda bangsa/campuran), secara ringkas berikut analisa yang dapat diberikan:

Berdasarkan ketentuan hukum Indonesia, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya". Oleh karena itu, apabila sang Ibu berkewarganegaraan Indonesia, maka si Anak akan mengikuti warga negara dan hukum sang Ibu. Bila sang Ibu berkewarganegaraan asing maka si Anak akan ikut warga negara ibunya yang WNI. Hal ini juga diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006 (“UU 12/2006”) tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan yang baru) dalam Pasal 4 huruf g, mengenai siapakah yang bisa disebut sebagai warga negara Indonesia, yaitu:

“Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia”

Lalu bagaimana dengan anak luar kawin yang ibunya WNA dan ayahnya WNI, tetapi sang ayah mau mengakui Anak tersebut sebagai Anaknya? UU 12/2006 juga telah mengatur mengenai hal tersebut, di mana dalam Pasal 4 huruf h tercantum bahwa WNI adalah:

“Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin”.

Kemudian bagaimana dengan anak luar nikah yang ibunya WNI lalu ayahnya WNA tapi sang ayah mau mengakui anak tersebut? Berdasarkan pasal 5 (1) UU 12/2006, dijelaskan:

“Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia”.

Tetap diakuinya anak-anak tersebut diatas sebagai WNI berdasarkan Pasal 6 UU 12/2006 menyebabkan anak-anak ini mempunyai kewarganegaraan ganda sampai usianya 18 tahun atau sudah kawin, di mana ia dibolehkan untuk memilih kewarganegaraannya. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan disampaikan secara tertulis kepada Pejabat yang ditugaskan oleh menteri untuk mengurusi bidang kewarganegaraan, dengan dilampiri dokumen sesuai peraturan perundangan.

Anak-anak yang lahir dari hubungan luar kawin lalu diakui atau diakui secara sah oleh ayahnya yang WNA atau WNI, seperti tersebut diatas, dan ia belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang 12/2006 dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.

Demikian penjelasan yang dapat diberikan semoga membantu.

Salam,

Jurnal Hukum PMF

PROSEDUR PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA

Pesan sekaligus tanggapan singkat yang disampaikan oleh Sdri. Ayu terhadap artikel mengenai Perkawinan Campuran serta berbagai pertanyaan sejenis dari beberapa masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di New Delhi, telah membawa saya pada suatu kesimpulan sederhana bahwa di saat sekarang ini banyak terdapat masyarakat Indonesia yang hendak melakukan perkawinan campuran (perkawinan beda kewarganegaraan) namun terkendala atau setidaknya minimn akan informasi hal tersebut.

Oleh karena itu dalam artikel berikut, saya sampaikan informasi dasar lainnya mengenai hal-hal yang terkait dengan perkawinan campuran, khususnya bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang akan menikah di Indonesia dengan laki-laki Warga Negara Asing (WNA) berdasarkan UU yang berlaku saat ini (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

1. Perkawinan Campuran

Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dikenal dengan Perkawinan Campuran (pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Artinya perkawinan yang akan anda lakukan adalah perkawinan campuran.

2. Sesuai dengan UU Yang Berlaku

Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21 tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan).

3. Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan

Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat perkawinan untuk memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing pihak, --anda dan calon suami anda,-- (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan. Bila petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat keterangan, maka anda dapat meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan, yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan).

Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini berlaku selama enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum dilaksanakan, maka Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU Perkawinan).

4. Surat-surat yang harus dipersiapkan

Ada beberapa surat lain yang juga harus disiapkan, yakni:

a. Untuk calon suami

Anda harus meminta calon suami anda untuk melengkapi surat-surat dari daerah atau negara asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan "Surat Keterangan" yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:
  • Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)
  • Fotokopi Akte Kelahiran
  • Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin;atau
  • Akte Cerai bila sudah pernah kawin; atau
  • Akte Kematian istri bila istri meninggal
  • Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada di Indonesia.
b. Untuk anda, sebagai calon istri

Anda harus melengkapi diri anda dengan:
  • Fotokopi KTP
  • Fotokopi Akte Kelahiran
  • Data orang tua calon mempelai
  • Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan bahwa anda tidak ada halangan bagi anda untuk melangsungkan perkawinan
6. Pencatatan Perkawinan (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)

Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.

7. Legalisir Kutipan Akta Perkawinan

Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus dilegalisir di Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan negara asal suami.

Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan anda sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum di negara asal suami, maupun menurut hukum di Indonesia

8. Konsekuensi Hukum

Ada beberapa konsekuensi yang harus anda terima bila anda menikah dengan seorang WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu terkait dengan status anak. Berdasarkan UU Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.

Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Jadi bersiaplah untuk mengurus prosedural pemilihan kewarganegaraan anak anda selanjutnya.

Semoga mencerahkan dan have a nice weekend readers..

Catatan:
  • Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia, harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan anda belum diakui oleh hukum kita. Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal anda di Indonesia (pasal 56 ayat (2) UU No 1/74).
Referensi Utama: LI Seri 45 - LBH APIK Jakarta


STATUS HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN BERDASARKAN HUKUM INDONESIA[1]

Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia.[2]
Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain.[3] Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.

Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :

”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”


Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.

Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.

Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.

Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran, berikut komparasinya terhadap UU Kewarganegaraan yang lama. Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru?
  2. Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan masalah bagi anak?
II. ANAK SEBAGAI SUBJEK HUKUM

Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah :

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.[4] Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.

III. PENGATURAN MENGENAI ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN

A. Menurut Teori Hukum Perdata Internasional

Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan[5], apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.

Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal[6]. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis).[7] Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya.[8] Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.[9]

Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.[10]

Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.

B. Menurut UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958

1. Permasalahan dalam perkawinan campuran

Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:

a. Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara
Indonesia (WNI)

Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa.[11] Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal( faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.[12]

b. Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI)

Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU No.62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati , maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa.[13] Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor.[14] Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun.[15] Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.

2. Anak hasil perkawinan campuran

Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :

“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”

Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :

1. Menjadi warganegara Indonesia

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.[16] Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.[17]

2. Menjadi warganegara asing

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing.[18] Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.

Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).[19]

C. Menurut UU Kewarganegaraan Baru

1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran

Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:[20]
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.[21]

Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.[22]

2. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran

Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.[23]
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.[24] Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.[25]

Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.

Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka.[26] Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.[27]

Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum[28] pada ketentuan negara yang lain.

Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah[29] maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil[30] harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil[31] mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.

Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.

3. Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan yang baru

Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya UU baru ini juga masih menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus kritik yang terkait dengan status kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati (organisasi para istri warga negara asing).

“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan antar bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke UU yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur hanya terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap aturan tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.[32]

Penulis kurang setuju dengan kritik yang disampaikan oleh KPC Melati tersebut. Menurut hemat penulis, kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang mengatur status personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapat taraf dewasa, ia akan banyak melakukan perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan hukum tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan diatur dengan hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum nasional nya ada dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan hukum yang lain. Sebagai contoh dapat dianalogikan sebagai berikut :

“Joko, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia hal tersebut dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum Belanda hal tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana yang harus diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya.”

Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas, maka anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara.

IV. KESIMPULAN

Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.

UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.

***

Beberapa Tulisan Terkait Lainnya:

-----

Catatan Kaki:

[1] Terima kasih saya sampaikan kepada Chandra Karina, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Program Hukum Transnasional), atas waktunya guna memperkaya wawasan Law Blog ini.

[2] Nuning Hallet, Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=51, diakses 12 August 2006.

[3] Ibid.

[4] Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata; Suatu Pengantar, Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005, hal.21.

[5] Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7, Bandung: Penerbit Alumni, 1995, hal.86.

[6] Statuta personalia adalah kelompok kaidah yang mengikuti kemana ia pergi. Sudargo, op.cit., hal.3.

[7] Ibid., hal.80

[8] Ibid.

[9] Ibid, hal.81.

[10] Ibid., hal.91.

[11] Cara pewarganegaraan ini mengikuti ketentuan pasal 5 UU No.62 Tahun 1958.

[12] Mixed Couple Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi keuargal perkawinan campuran, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20article&artid=46, diakses 12 Agustus 2006.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Lihat pasal 21 UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.

[16] Lihat pasal 15 ayat (2) dan 16 (1) UU No.62 Tahun 1958

[17] Mixed Couple Indonesia, op.cit.

[18] Anak yang lahir dari perkawinan seperti ini tidak termasuk dalam definisi warga Negara yang tercantum dalam pasal 1 UU No.62 Tahun 1958, sehingga dapat digolongkan sebagai warga negara asing. Indonesia menganut asas ius sanguinis, kewarganegaraan anak mengikuti orang tua, yaitu bapak.

[19] Pasal 15 UU No.62 Tahun 1958.

[20] Lihat penjelasan UU Kewarganegaraan yang baru.

[21] Ibid.

[22] Pasal 25 UU Kewarganegaraan RI yang baru

[23] Pasal 4 huruf c dan d UU Kewarganegaraan RI yang baru.

[24] Pasal 6 ayat (1) UU Kewarganegaraan RI yang baru

[25] Pasal 6 ayat (3) UU Kewarganegaraan RI yang baru

[26] Gautama, op.cit., hal.13.

[27] Gautama, op.cit., hal.66.

[28] Ketertiban umum dapat diartikan sebagai sendi-sendi azasi hukum nasional sang hakim. Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung: Binacipta, 1977, hal.133.

[29] Karena belum berusi 18 tahun ia belum memilih kewarganegaraannya, sedangkan pemilihan kewarganegaraan berdasar pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru dilakukan sesudah perkawinan, bukan sebelum.

[30] Syarat materiil adalah syarat yang menyangkut pribadi calon mempelai dan larangan-larangan menikah.

[31] Syarat formil adalah syarat yang menyangkut formalitas yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan. Syarat formil biasanya terkait dengan urusan administrasi perkawinan.
[32] UU Kewarganegaraan Baru Tentang Diskriminasi dan Kewarganegaraan Ganda, Liputan KBR 68H, http://www.ranesi.nl/tema/temahukdanham/%20uu_kewarganegaraan_baru060713, diakses 12 Agustus 2006.

Sabtu

BERITA FOTO

Pengunjung pameran "Indonesia Maritime Expo 2009" mengamati maket kapal dari perusahaan Jerman, di Balai Sidang Jakarta, Jumat (2/9). Pameran perdana yang menampilkan beragam teknologi dan industri maritim terkini di Indonesia ini digelar bertepatan dengan dicanangkannya Tahun 2009 sebagai tahun Maritime oleh Pemerintah Indonesia. Pameran berlangsung hingga 4 Oktober mendatang.
Fotografer: Dananjoyo Kusumo






DEMO TOL: Demonstran ditangkap oleh anggota kepolisian saat melakukan aksi unjuk rasa di depan pintu tol Rawamangun, Jakarta Jumat (2/10). Dalam aksinya mereka menolak kenaikan tarif tol.
Fotografer: Desmunyoto P. Gunadi




HARI BATIK: Finalis Putri Indonesia mengkampanyekan penggunan batik sebagai warisan budaya Indonesia di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Jumat (2/10). UNESCO menetapkan Batik sebagai warisan budaya non benda.
Fotografer: Desmunyoto P. Gunadi








Konstitusi dan Aktivisme Yudisial

Oleh: Pan Mohamad Faiz*
Sumber: Kolom Opini Jurnal Nasional - Selasa, 25 Agustus 2009

Belum lama ini, tepatnya pada tanggal 18 Agustus, masyarakat Indonesia baru saja memperingati “Hari Konsitusi” untuk kali pertamanya. Peringatan Hari Konstitusi tersebut setidaknya memberikan gambaran bahwa UUD 1945 dan cita konstitusionalisme semakin diteguhkan sebagai sumber hukum tertinggi dan pedoman dasar dalam kehidupan bernegara.

Walaupun UUD 1945 telah dibentuk 64 tahun yang lalu, namun fase kehidupan dan kesadaran berkonstitusi warga negara terbentuk begitu pesat baru dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini. Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan konstitusionalisme tersebut tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Pertama, wujud pelaksanaan hasil amandemen UUD 1945 yang diubah pada 1999-2002; Kedua, munculnya puluhan lembaga kajian konstitusi; dan Ketiga, adanya sentuhan yudisial dari pengadilan konstitusi (baca: Mahkamah Konstitusi).

Dalam konteks terakhir, Upendra Baxi menyatakan bahwa pada negara-negara pasca-sosialis atau transisi, seperti misalnya Rusia, Polandia, dan Hungaria, mereka telah berhasil membumikan ruh konstitusinya melalui aktivisme yudisial (judicial activism). Aktivisme demikian terinspirasi dari makna filosofis penafsiran konstitusi yang memandang konstitusi bukan sekedar katalog peraturan hukum, namun lebih sebagai pernyataan prinsip-prinsip pemerintahan konstitusional yang wajib dijalankan.

Aktivisme yudisial sendiri merupakan proses pengambilan putusan pengadilan melalui pendekatan berbeda. Pendekatan ini menurut Satyabrata melebihi filsafat hukum lama, karena dianggap lebih modern dan dekat dengan kehidupan riil masyarakat. Aktivisme yudisial juga dipahami sebagai dinamisme para hakim yang memegang kekuasaan kehakiman ketika membuat putusan tanpa melampaui batas-batas konstitusi (S.P. Sathe, 2002).

http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Opini&rbrk=&id=103123&detail=Opini

Jurnal Hukum

JAMINAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA


abstraks:

JAMINAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

DITULIS OLEH RANGGA MAINDRA
0403005157

BAB I
PENDAHULUAN

Permasalahan
Latar Belakang
Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang – undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat dalam masyarakat.
Hukum bukanlah semata – mata sekedar sebagai pedoman untuk dilihat dan dibaca atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Dapatlah dikatakan bahwa setiap individu melaksanakan hukum. Setiap hari kita melaksanakan hukum. Bahkan seringkali kita tanpa sadari kita melaksanakan hukum. Jadi pelaksanaan hukum bukan dimonopoli oleh pihak tertentu seperti pejabat atau penegak hukum.
Dalam kehidupan bermasyarakat pasti terwujud suau interaksi, dimana intereaksi tersebut memerlukan batasan – batasan atau bisa dikatakan suatu aturan yang mengatur interaksi tersebut.
Dengan telah disahkannya Rancangan Undang – Undang Hukum Acara Pidana menjadi Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), membawa perubahan yang mendasar bagi hukum acara pidana Indonesia yang sebelumnya berpedoman pada HIR. Perubahan yang mendasar tersebut sesuai dengan tujuan KUHAP itu sendiri yaitu memberikan perlindungan hak asasi bagi tersangka atau terdakwa dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum. Tujuan mencapai ketertiban dan kepastian hukum dalam undang – undang ini nampaknya sudah bukan merupakan suatu tujuan utama, namun tujuan perlindungan atas harkat dan martabat seorang tersangka atau tertuduh atau terdakwalah yang merupakan tujuan yang utama.
Pembangunan hukum yang bersifat nasional seperti hukum acara pidana dilandasi oleh motivasi dan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya, menciptakan sduatu ketertiban dalam masyarakat serta agar masyarakat mendapatkan suatu kepastian hukum.
Meskipun telah diadakan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana yang bersifat nasional yang telah disesuaikan dengan keadaan atau kehidupan hukum Indonesia, KUHAP itu sendiri tidak luput dari adanya kekurangan. Kekurangan yang terdapat dalam KUHAP memang banyak menimbulkan suatu permasalahan baru diantaranya dalam hal penahanan seorang tersangka atau terdakwa.
Permasalahan mengenai penahanan akan tetap menjadi suatu pembicaraan yang sangat menarik karena penahanan sangat erat kaitannya dengan perampasan hak kebebasan seseorang.
Menurut Van Bemmelen, penahanan adalah sebagai suatu pedang yang memenggal kedua belah pihak karena tindakan yang bengis itu dapat dikenakan kepada orang – orang yang belum menerima keputusan dari hakim, jadi mungkin juga kepada orang orang yang tidak bersalah.
Dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP, diterangkan bahwa suatu penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini. Dari pengertian tersebut diatas jelas dinyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa disuatu tempat tertentu dan hanya boleh dilakukan oleh panyidik, penuntut umum, hakim dengan suatu penetapan dalam hal serta dengan tata cara yang diatur dalam pasal lain dalam KUHAP.
Oleh karena penahanan tersebut merupakan pembatasan terhadap suatu kebebasan yang dimiliki oleh seseorang khususnya kebebasan bergerak seseorang maka hendaknya penahanan tersebut dilakukan bilamana memang sangat diperlukan bagi kepentingan penegakan hukum. Selain itu penahanan juga menimbulkan dua pertentangan azas yaitu disatu pihak penahanan menyebabkan hilangnya kebebasan bergerak seseorang, dan di pihak yang lain penahanan dilakukan untuk menjaga ketertiban yang harus dipertahankan demi kepentingan umum atas perbuatan jahat yang disangkakan kepada tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu segala tindakan penahanan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang melakukan penahanan harus sesuai dengan KUHAP, hal ini untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam pelaksanaan penahanan yang nantinya dapat menyebabkan akibat hukum yang fatal bagi pejabat yang melakukan penahanan yang mana dapat berupa adanya tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 95 KUHAP dan bahkan bisa berupa ancaman pidana sesuai dengan Pasal 9 ayat 2 Undang – undang No.4 Tahun 2004.
Untuk menjaga dan agar tidak merugikan kepentingan tersangka atau terdakwa dikarenakan adanya penahanan yang kemungkinan dapat dilangsungkan dalam waktu yang cukup lama maka dalam hukum acara pidana kita diatur suatu ketentuan mengenai bahwa tersangka atau terdakwa dapat memohon penahanannya untuk ditangguhkan. Mengenai penangguhan penahanan tersebut diatur dalam Pasal 31 KUHAP, dimana penangguhan tersebut dapat dikabulkan oleh penyidik, penuntut umum, hakim sesuai dengan kewenangannya masing – masing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang berdasarkan syarat – syarat tertentu.
Dengan adanya pengaturan mengenai dapat dimohonkannya penangguhan terhadap suatu penahanan, mungkin memberikan sedikit angin segar kepada para tersangka atau terdakwa. Namun, mengenai penangguhan penahanan ini juga tidak luput dari kekurangan dan sudah barang tentu dapat menimbulkan suatu permasalahan yang baru bagi masyarakat yang mencari kepastian hukum.
Dalam Pasal 31 KUHAP hanya menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa dapat memohon suatu penangguhan, penangguhan tersebut dapat dikabulkan oleh penyidik, penuntut umum, hakim sesuai dengan kewenangannya masing – masing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang berdasarkan syarat – syarat tertentu serta apabila syarat tersebut dilanggar maka penangguhan tersebut dapat dicabut kembali dan tersangka atau terdakwa tersebut dapat kembali ditahan. Pengaturan tersebut dirasa sangat kurang memberi kejelasan pelaksanaan penangguhan penahanan dalam praktek beracara pidana.
Diatas telah diuraikan bahwa penangguhan dapat dilaksanakan dengan atau tidak adanya jaminan berupa uang atau jaminan orang, namun KUHAP tidak menjelaskan mengenai besarnya jumlah uang jaminan tersebut apabila penangguhan tersebut dilaksanakan dengan adanya jaminan uang dan apabila penangguhan dilaksanakan dengan jaminan orang KUHAP juga tidak memberikan penjelasan. Selain itu Pasal 31 KUHAP juga tidak menjelaskan mengenai akibat hukum dari si penjamin apabila tersangka atau terdakwa yang ia jamin tersebut melarikan diri.
Dari uraian latar belakang diatas maka dibuatlah karya tulis berupa skripsi yang berjudul “ JAMINAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
1.1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut diatas maka yang menjadi permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan bagi aparat penegak hukum untuk menentukan besarnya uang jaminan dalam menetapkan suatu penangguhan penahanan ?
2. Bagaimana akibat hukum dari si penjamin dalam penangguhan penahanan dengan jaminan orang saja bila terdakwa melarikan diri ?
1.1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari dan membatasi agar jangan sampai suatu pembahasan itu keluar dari pokok permasalahan maka perlu diberikan batasan terhadap permasalahan yang dibahas. Berkaitan dengan masalah yang telah dirumuskan maka yang dapat dibahas hanyalah sebatas jaminan dalam penangguhan penahanan pada institusi pengadilan negeri baik dalam hal dasar penetapan besarnya jaminan uang serta akibat hukum yang terjadi apabila terdakwa melarikan diri.

1.2 Telaah Pustaka
Untuk membahas permasalahan yang telah disampaikan diatas, maka ada beberapa hal yang dapat dipakai acuan atau pedoman untuk mencari jawaban atas permasalahan tersebut.
Penahanan merupakan salah satu tindakan yang dilakukan dalam hal membantu proses penyelidikan, penyidikan dan proses peradilan. Dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP, diterangkan bahwa suatu penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini. Dari pengertian tersebut diatas jelas dinyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa disuatu tempat tertentu dan hanya boleh dilakukan oleh panyidik, penuntut umum, hakim dengan suatu penetapan dalam hal serta dengan tata cara yang diatur dalam Pasal lain dalam KUHAP. Secara garis besar KUHAP menyatakan bahwa penahanan tersebut harus didasarkan adanya syarat – syarat tertentu antara lain bahwa tersangka atau terdakwa diduga keras melakukan suau tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi perbuatannya kembali. Moelyatno membagi syarat penahanan tersebut menjadi 2 yaitu :
a. Syarat Obyektif :
1. Terhadap tindakan pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih ;
2. Tindak pidana tetentu seperti tersebut dalam Pasal 21 ayat 4 huruf b KUHAP meskipun ancaman pidananya kurang dari lima tahun.
b. Syarat Subyektif :
1. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan
2. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa melarikan diri.
3. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa merusaka atau menghilangkan barang bukti.
4. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa mengulangi tindak pidana.

Mengingat pada dasarnya bahwa penahanan tersebut adalah perampasan terhadap hak kebebasan bergerak seseorang sehingga harus dilaksanakan dengan penuh kehati – hatian dan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Yahya Harahap menyatakan :
Penahanan sebagai upaya paksa, tidak dengan sendirinya menghilangkan harkat dan martabat tersangka. tidak pula dapat melenyapkan hak – hak asasi yang melekat padadirinya secara keeluruhan. Namun demikian sepanjang yang berkenaan dengan beberapa hak asasi yang berhubungan dengan harkat dan martabatnya serta hak yang perlu untuk melindungi kepentingan pribadinya, tidak boleh dikurangi dan harus dijamin oleh hukum sekalipun dia berada dalam penahanan.

Dalam KUHAP diatur suatu upaya yang mungkin cukup menggembirakan untuk para tersangka atau terdakwa agar kebebasan bergeraknya tidak dibatasi oleh adanya penahanan. Upaya tersebut ialah suatu penangguhan terhadap adanya suatu penahanan yang diatur dalam Pasal 31 KUHAP yang isinya:
1. Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing – masing, dapat mengadakan penangguhan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
2. Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu – waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Penangguhan penahanan tersebut ada dikarenakan agar dapat menjaga dan tidak merugikan kepentingan tersangka atau terdakwa dikarenakan adanya penahanan yang kemungkinan dapat dilangsungkan dalam waktu yang cukup lama.
Menurut H. Haris bahwa :
Pemberian penangguhan penahanan oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim harus berdasarkan asas praduga tak bersalah atau Presumtion of innocence, bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di depan pengadilan dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam hal penangguhan penahanan ini pejabat yang berwenang menahan tersangka atau terdakwa tersebut tidak diwajibkan untuk mengabulkan setiap adanya permohonan penangguhan penahanan dan dapat menolak permohonan penangguhan penahanan tersebut dengan suatu alasan tertentu dan tetap menempatkan tersangka atau terdakwa dalam tahanan.
Bila suatu penangguhan penahanan tersebut dikabulkan oleh pejabat yang melakukan penahanan maka berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, pejabat tersebut dapat menetapkan suatu jaminan baik berupa jaminan uang atau jaminan orang. Penetapan ada atau tidaknya suatu jaminan dalam KUHAP bersifat fakultatif.
M. Yahya Harahap berpendapat bahwa :
Penetapan jaminan dalam penagguhan penahanan tidak mutlak. Tanpa jaminan tindakan pemberian penangguhan penahanan tetap sah menurut hukum. Cuma agar syarat penangguhan penahanan benar – benar ditaati, ada baiknya penangguhan dibarengi dengan penetapan jaminan. Cara yang demikianlah yang lebih dapat dipertanggung jawabkan demi upaya memperkecil tahanan melarikan diri.

Berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman No. 14 – PW.07.03/1983 menyatakan bahwa dalam hal ada permintaan untuk menangguhkan penahanan yang dikabulkan, maka diadakan perjanjian antara pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dengan tersangka atau penasihat hukumnya beserta syarat – syarat. Berdasarkan ketentuan tersebut maka penangguhan penahanan pada dasarnya dilaksanakan dengan sebuah perjanjian antara pejabat yang berwenang menahan dengan tersangka atau terdakwa atau penasihat hukumnya.

1.3 Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu jawaban sementara yang belum tentu kebenarannya. Dari permasalahan tersebut diatas maka dapat dirumuskan suatu hipotesis yaitu :
1. Penetapan besarnya jaminan uang dalam pelaksanaan penangguhan penahanan ditetapkan berdasar kesepakatan antara aparat penegak hukum yang melakukan penahanan dengan tersangka/terdakwa, keluarga tersangka/terdakwa atau penasihat hukum tersangka/terdakwa yang disesuaikan dengan kejahatan atau perbuatan yang disangkakan kepada tersangka/terdakwa.
2. Seorang penjamin yang menjamin terdakwa dalam penangguhan penahanan memiliki tanggungjawab penuh atas keberadaan terdakwa tersebut. Apabila terdakwa tersebut melarikan diri maka si penjamin harus bertanggung jawab menemukan terdakwa tersebut.

1.4 Tujuan Penulisan
1.4.1 Tujuan Umum
Yang menjadi tujuan dalam penulisan laporan ini, secara umum yaitu agar Mahasiswa dapat memperdalam pengetahuan dalam bidang hukum baik secara teori maupun prakteknya, yang didapat dengan pengamatan langsung dilapangan. Selain itu untuk mengetahui secara umum bagaimana antara teori dan penerapannya.
1.4.2 Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan penulisan ini ialah untuk menambah wawasan dalam bidang hukum acara pidana, baik secara teori maupun penerapannya di Pengadilan dan lebih memperdalam lagi pengetahuan mengenai jaminan dalam penangguhan penahanan baik dalam hal dasar penetapan bentuk dan syarat jaminan serta akibat hukum yang terjadi apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri.

1.5 Metode Penulisan
1.5.1 Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis empiris yaitu dengan mengkaji dari ketentuan hukum yang berlaku dan kenyataan yang ada dimasyarakat mengenai jaminan penangguhan penahanan.
1.5.2 Sumber Data
1. Data Lapangan (Field Research) adalah merupakan data primer yang diperoleh dengan melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Denpasar dan POLTABES Denpasar..
2. Data Pustaka (Library Research) adalah merupakan data sekunder yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas sebagai bahan hukum primer, serta literatur-literatur sebagai bahan hukum sekunder, serta dari kamus sebagai bahan hukum tersier.

1.5.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah untuk data lapangan atau data primer diperoleh dengan melakukan wawancara. Wawancara yang dimaksud ialah dalam artian secara fisik. Wawancara dilakukan dengan informan sedangkan untuk data sekunder atau data pustaka diperoleh dengan membaca, menganalisa literatur-literatur, ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dibahas.
1.5.4 Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Teknik pengolahan dan Analisa data yang dipergunakan adalah secara kualitatif yaitu dengan memilih data dengan kualitasnya untuk dapat menjawab permasalahan yang diajukan. Data yang dikumpulkan baik data primer maupun data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber dikumpulkan untuk mendapatkan data yang relevan dengan masalah yang diangkat dan disajikan secara deskriptif analisis yaitu penyajian yang menggambarkan secara lengkap tentang aspek-aspek tertentu yang bersangkutan dengan permasalahan dan selanjutnya dianalisa kebenarannya.

HUKUM PIDANA

Perbuatan Pidana

Perbuatan pidana sering disebut dengan beberapa istilah seperti tindak pidana, peristiwa pidana, dan delict. Dimaksud dengan perbuatan pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Kapan suatu peristiwa hukum dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana.

Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif.

Dua unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan adanya suatu perbuatan pidana adalah:

  1. unsur obyektif, yaitu adanya suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh hukum dengan ancaman pidananya. Menjadi titik utama dari pengertian obyektif ini adalah tindakannya.
  2. unsur subyektif, yaitu adanya perbuatan seseorang atau beberapa orang yang berakibat pada hal yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Menjadi titik utama dari pengertian subyektif ini adalah adanya seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindakan.

Syarat yang harus dipenuhi (sebagai unsur obyektif dan subyektif yang dipersyaratkan) dalam suatu peristiwa pidana ialah:

  • Harus ada perbuatan orang atau beberapa orang. Perbuatan itu dapat dipahami orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa;
  • Perbuatan itu harus bertentangan dengan hukum;
  • Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang disebutkan dalam ketentuan hukum;
  • Harus terbukti ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan;
  • Harus tersedia ancaman hukuman terhadap perbuatan yang dilakukan yang termuat dalam peraturan hukum yang berlaku.

ISTILAH PERUNDANG-UNDANGAN HINDIA BELANDA

NB: Sebelum anda membaca tulisan ini ada baiknya anda memahami terlebih dahulu istilah hukum adat sbb: Istilah HUKUM ADAT adalah terjemahan dari istilah ADAT RECHT. Istilah Adat Recht ini pertama kali dikemukakan oleh Dr. Christian Snouck Hurgronye dalam bukunya “De Atjehers” (1893-1894). Selanjutnya istilah Adat Recht digunakan oleh Prof. Dr. Cornellis van Vollenhoven sebagai istilah di dalam ilmu pengetahuan hukum dalam bukunya yang berjudul:
1. Het Adatrecht van Nederland Indie (Jilid I sampai III) (1901-1933);
2. Een Adatwetboekje voor heel Indie (1910);
3. De Ontdekking van het Adatrecht (1928).
Selanjutnya secara resmi istilah Adat Recht ini ada di dalam Stb. 1929-221 jo 487 yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1929.

Di kalangan pakar Barat ada juga yang menggunakan istilah yang lain, seperti:

1. NEDERBURG - Wetten Adat

2. JUYNBOLL - Handleiding tot de kennis van de Mohammedansche wet

3. SCHEUER - Het personenrechts voor de Inlanders op Java en Madura

Dalam perundang-undangan Hindia Belanda, tidak secara keseluruhan menggunakan istilah Adat Recht. Ada beberapa peristilahan yang maksudnya adalah sama dengan hukum adat. Istilah-istilah dimaksud dapat disebutkan sebagai berikut:

1. GODS DIENTIGE WETTEN, INSTELLINGEN EN GEBRUIKEN (Peraturan-peraturan Keagamaan, Lembaga-lembaga dan Kebiasaan-kebiasaan). Istilah ini digunakan dalam Pasal 75 ayat (3) Regeling Reglement (RR);
2. GODS DIENTIGE WETTEN EN OUDE HERKOMSTEN (Peraturan-peraturan Keagamaan dan Naluri Lama). Istilah ini digunakan dalam Pasal 78 ayat (2) Regeling Reglemen (RR);
3. INSTILLINGEN DES VOLK (Lembaga-lembaga Rakyat). Istilah ini digunakan dalam Pasal 128 ayat (4) Indische Staats Regeling (IS);
4. MET HUNNE GODS DIENTEN EN GEWOONTEN SAMENHANGEN DE RECHTSREGELEN (Aturan-aturan Hukum yang Berhubungan dengan Agama-agama dan Kebiasaan-kebiasaan mereka). Istilah ini digunakan dalam Pasal 131 ayat (2) sub b Indische Staats Regeling (IS);
5. GODS DIENTIGE WETTEN, VOLKS INSTILLINGEN EN GEBRUIKEN (Peraturan-peraturan Keagamaan, Lembaga-lembaga Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan);
6. ADAT RECHT (Hukum Adat) , istilah ini digunakan dalam Stb. 1929 No. 221 jo 487.

Teori Receptio in Complexu

Teori receptio in complexu ini dikemukakan oleh Mr. W.C. van den Berg, Guru Besar di Delf dan Penasihat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada Pemerintah kolonial Belanda.

Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan setia”.

Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum Adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari hukum agama yang dipeluknya, maka hal ini dianggap sebagai suatu “perkecualian/penyimpangan” dari hukum agama yang telah “in complexu gerecipieerd” (diterima secara keseluruhan) itu.

Dengan berlandas pada teori yang dikemukakannya itu, maka van den Berg menggambarkan hukum Adat itu sebagai hukum yang terdiri hukum agama dan penyimpangan-penyimpangannya.

Teori van den Berg ini mendapat banyak tentangan dari para sarjana, antara lain:

1. Prof. Snouck Hurgronje dalam bukunya “De Atjehers” Jilid I;
2. Mr. van Ossenbruggen dalam bukunya “Oorsprong en eerste ontwikkeling van testeer en voog dijrecht”;
3. Mr. I.A. Nederburgh dalam bukunya “Wet en Adat” Jilid I;
4. Mr. C. van Vollenhoven dalam bukunya “Het Adat-recht van Nederlans Indie”;
5. dan lain-lainnya.

HUKUM PERDATA

Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak dan kewajiban (subyek) di dalam hukum. Dimaksud dengan orang atau subyek hukum, dapat diartikan sebagai manusia (naturlijkpersoon) atau badan hukum (rechtspersoon).

Manusia (naturlijkpersoon) sebagai subyek hukum:
Pada saat sekarang ini setiap manusia manusia dapat dikatakan sebagai pembawa hak dan kewajiban, oleh karena berbudakan telah tidak dilakukan lagi dalam peradaban sekarang ini.
Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak adalah dimulai sejak ia dilahirkan dan berahir pada saat ia meninggal. Malah jika perlu, anak di dalam kandungan dapat dianggap telah ada asal saja kemudian ia dilahirkan hidup.

Kecakapan bertindak dalam hukum:
Meskipun menurut hukum setiap orang tiada yang dikecualikan memiliki hak dan kewajiban, namun tidak setiap orang dapat bertindak sendiri dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Oleh hukum, ada beberapa golongan orang yang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum atau melaksanakan hak dan kewajibannya. Mereka ini adalah orang-orang yang belum dewasa (belum cukup umur) dan orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele), dan kepadanya harus selalu diwakili oleh orang tua/walinya (bagi yang belum dewasa) dan oleh kuratornya (bagi yang ditaruh di bawah pengampuan.

Kekuasaan orang tua dan perwalian:
Menurut BW, di bawah umur apabila belum mencapai usia 21 tahun, kecuali ia sudah kawin. Orang yang masih dibawah umur ini ada dibawah kekuasaan orang tuanya. Selanjutnya apabila salah seorang dari orang tuanya meninggal dunia maka ia berada dalam perwalian orang tuanya yang masih hidup. Demikian pula bila orang tuanya bercerai maka ia akan berada dalam perwalian salah seorang orang tuanya. Bila kedua orang tuanya meninggal maka ia ada dalam perwalian orang lain.

Badan Hukum (rechtspersoon):
Di samping orang-orang (manusia), badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan dapat juga memiliki kekayaan sendiri dan ikut serta dalam lalu-lintas hukum, yaitu juga memiliki hak dan kewajiban serta dapat digugat ataupun menggugat di depan Hakim. Badan atau perkumpulan ini dinamakan “badan hukum” atau rechtspersoon, misalnya Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi dan sebagainya.

Domicili:
Setiap orang menurut hukum harus mempunyai tempat tinggal yang dapat dicari. Tempat tersebut dinamakan domicili. Demikian pula halnya dengan Badan Hukum harus mempunyai tempat kedudukan. Bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, domisilinya dianggap ada di tempat di mana ia sungguh-sungguh berada. Pentingnya domisili atau tempat kedudukan ini adalah untuk menetapkan beberapa hal, misalnya: di mana seorang harus dipanggil, Pengadilan mana yang memiliki kompetensi terhadap dirinya, dan sebagainya.

THE LAW

The ESCORT legal KNOWLEDGE

Legal knowledge was science that his object the law studied legal details, the origin, the shape, the principle, system the distribution kind, the source, the development, the function, the position of the law in the community. Study the law as the sign, the phenomenon, the life of humankind when and when then (universal). The method studied the law that is: The idealist's

1. methods: the realisation of the certain values = justice

2. methods normative: the analysis of the law as system the autonomous and free abstract thought

3. sociological methods: the law as the implement to arrange the community, factor that influenced the formation of the law.

4. methods histories: saw the history of the law = the past and now

5. systematic methods: the law as system

6. comparative methods, compared between the legal structure that was valid in one Country.

translation >>


PENGANTAR ILMU HUKUM

Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang objeknya hukum mempelajari seluk beluk hukum, asal mula, wujud, asas , system macam pembagian, sumber, perkembangan , fungsi, kedudukan hukum dalam masyarakat. Menelaah hukum sebagai gejala, fenomena, kehidupan manusia dimana pun dan kapan pun (universal). Metode mempelajari hukum yaitu :

1. metode idealis : perwujudan nilai-nilai tertentu = keadilan
2. metode normative : analisis hukum sebagai system abstrak otonom dan bebas nilai
3. metode sosiologis : hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat, factor yang mempengaruhi pembentukan hukum.
4. metode histories : melihat sejarah hukum = masa lampau dan sekarang
5. metode sistematis : hukum sebagai system
6. metode komparatif, membandingkan antara tata hukum yang berlaku di satu Negara .


"HUKUM ADAT"

Sesungguhnya antara istilah Adat Recht dan Hukum Adat masih dapat dilakukan pembedaan, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa istilah Adat Recht yang dikenal dalam tata hukum Hindia Belanda tidak begitu saja dapat disamakan dengan istilah Hukum Adat sebagai hukum yang tidak tertulis.

Istilah Adat Recht (sebagaimana yang dimaksudkan oleh Snouck Hurgronje, van Vollenhoven, dan Ter Haar) ialah hukum yang terdiri dari Hukum Asli dari zaman Melayu Polinesia dan Hukum Rakyat Timur Asing termasuk unsur-unsur agama yang mempengaruhi Hukum Asli di daerah-daerah. Pengertian Hukum Adat sebagaimana hasil Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Jogyakarta (1975) adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama. Ada kesamaan antara Adat Recht dengan Hukum Adat, oleh karena pada pokoknya Adat Recht merupakan unsur yang tidak tertulis, dan dimaksud dengan Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis. Tetapi Adat Recht masih juga meliputi hukum yang tertulis (tercatat atau terdokumen) asal sungguh-sungguh merupakan hukum yang hidup. Dalam perkembangan hukum ke depan, sebaiknya Hukum Adat dapat dibaca sebagai semua hukum yang tidak tertulis di dalam bentuk perundang-undangan, baik yang berlaku dalam penyelenggaraan ketata negaraan/pemerintahan maupun yang modern, baik yang merupakan hukum kebiasaan maupun hukum keagamaan.

Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat

Ada empat faktor penting yang mempengaruhi perkembangan hukum Adat. Faktor-faktor tersebut adalah:

1.Faktor magi dan animisme:
Pada masyarakat hukum adat, faktor magi dan animisme ini pengaruhnya begitu besar dan tidak atau belum dapat terdesak oleh agama-agama yang kemudian datang. Hal ini terlihat dalam ujud pelaksanaan-pelaksanaan upacara adat yang bersumber pada kepercayaan kepada kekuasaan atau kekuatan gaib yang dapat dimohon bantuannya.

2. Faktor Agama:
Adanya pengaruh dari agama-agama yang masuk kemudian ke Indonesia dan dianut oleh masyarakat hukum adat bersangkutan, seperti agama Hindu, agama Islam, dan agama Kristen.

3. Faktor kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat:
Kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan adat ini adalah kekuasaan yang mempunyai wilayah yang lebih luas dari persekutuan hukum adat seperti Kerajaan dan Negara.

4. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing:
Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Bahkan kekuasaan asing ini yang menyebabkan hukum adat terdesak dari beberapa bidang kehidupan hukum. Selain itu, alam pikiran Barat yang dibawa oleh orang-orang asing (Barat) ke Indonesia dan kekuasaan asing dalam pergaulan hukumnya, sangat mempengaruhi perkembangan cara berpikir orang Indonesia. Sebagai contoh dapat dikemukakan proses individualisering di kota-kota yang berjalan lebih cepat dari pada masyarakat di pedesaan.

Hukum Adat Tidak Mengenal Asas Legalitas

Berlainan dengan hukum kriminal Barat, hukum Adat tidak mempunyai sistem pelanggaran yang tertutup. Hukum adat tidak mengenal sistem “prae-existente regels”, artinya tidak mengenal sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan terlebih dahulu sebagaimana dalam “asas legalitas” yang tertuang dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Seluruh lapangan hidup menjadi batu ujian perihal apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan. Tiap-tiap perbuatan atau tiap-tiap situasi yang tidak selaras dengan atau yang memperkosa keselamatan masyarakat, keselamatan golongan famili atau keselamatan teman semasyarakat (anggota famili, dan sebagainya), dapat merupakan pelanggaran hukum.

Dengan demikian maka di dalam hukum Adat, suatu perbuatan yang tadinya tidak merupakan delik adat, pada suatu waktu dapat dianggap oleh hakim atau oleh kepala adat sebagai perbuatan yang menentang tata tertib masyarakat sedemikian rupa, sehingga dianggap perlu diambil upaya adat (adatreaksi) guna memperbaiki hukum.

Adat-Istiadat dan Hukum Adat

Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara adat-istiadat dan hukum adat. Suatu adat-istiadat yang hidup (menjadi tradisi) dalam masyarakat dapat berubah dan diakui sebagai peraturan hukum (Hukum Adat). Tentang bagaimana perubahan itu sehingga menimbulkan hukum Adat, dapat dikemukakan beberapa pendapat sarjana, antara lain:

Van Vollehoven: dikatakan olehnya bahwa suatu peraturan adat, tindakan-tindakan (tingkah laku) yang oleh masyarakat hukum adat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta ada perasaan umum yang menyatakan bahwa peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para Kepala Adat dan petugas hukum lainnya, maka peraturan-peraturan adat itu bersifat hukum.

Ter Haar: dikatakan olehnya bahwa hukum Adat yang berlaku hanya dapat diketahui dari penetapan-penetapan petugas hukum seperti Kepala Adat, hakim, rapat adat, perangkat desa dan lain sebagainya yang dinyatakan di dalam atau di luar persengketaan. Saat penetapan itu adalah existential moment (saat lahirnya) hukum adat itu. (dibaca tentang: teori beslissingenleer yang dikemukakan oleh Ter Haar)

Prof. Soepomo: mengatakan bahwa suatu peraturan mengenai tingkah-laku manusia (“rule of behaviour”) pada suatu waktu mendapat sifat hukum, pada ketika petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu atau pada ketika petugas hukum bertindak untuk mencegah pelanggaran peraturan-peraturan itu.

Selanjutnya dikatakan oleh Prof. Soepomo bahwa tiap peraturan adat adalah timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru. Demikian pula dengan peraturan baru ini yang juga akan berkembang dan selanjutnya lenyap karena tergantikan oleh peraturan baru yang sesuai dengan perubahan perasaan keadilan yang hidup dalam hati nurani masyarakat hukum adat pendukungnya. Begitu seterusnya, keadaan ini digambarkan sebagaimana halnya jalannya ombak dipesisir samudra.

Teori Receptio in Complexu

Teori receptio in complexu ini dikemukakan oleh Mr. W.C. van den Berg, Guru Besar di Delf dan Penasihat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada Pemerintah kolonial Belanda.

Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan setia”.

Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum Adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari hukum agama yang dipeluknya, maka hal ini dianggap sebagai suatu “perkecualian/penyimpangan” dari hukum agama yang telah “in complexu gerecipieerd” (diterima secara keseluruhan) itu.

Dengan berlandas pada teori yang dikemukakannya itu, maka van den Berg menggambarkan hukum Adat itu sebagai hukum yang terdiri hukum agama dan penyimpangan-penyimpangannya.

Teori van den Berg ini mendapat banyak tentangan dari para sarjana, antara lain:

  1. Prof. Snouck Hurgronje dalam bukunya “De Atjehers” Jilid I;
  2. Mr. van Ossenbruggen dalam bukunya “Oorsprong en eerste ontwikkeling van testeer en voog dijrecht”;
  3. Mr. I.A. Nederburgh dalam bukunya “Wet en Adat” Jilid I;
  4. Mr. C. van Vollenhoven dalam bukunya “Het Adat-recht van Nederlans Indie”;
  5. dan lain-lainnya.

ISTILAH DALAM PERUNDANG-UNDANGAN HINDIA BELANDA

NB: Sebelum anda membaca tulisan ini ada baiknya anda memahami terlebih dahulu istilah hukum adat sbb: Istilah HUKUM ADAT adalah terjemahan dari istilah ADAT RECHT. Istilah Adat Recht ini pertama kali dikemukakan oleh Dr. Christian Snouck Hurgronye dalam bukunya “De Atjehers” (1893-1894). Selanjutnya istilah Adat Recht digunakan oleh Prof. Dr. Cornellis van Vollenhoven sebagai istilah di dalam ilmu pengetahuan hukum dalam bukunya yang berjudul:
1. Het Adatrecht van Nederland Indie (Jilid I sampai III) (1901-1933);
2. Een Adatwetboekje voor heel Indie (1910);
3. De Ontdekking van het Adatrecht (1928).
Selanjutnya secara resmi istilah Adat Recht ini ada di dalam Stb. 1929-221 jo 487 yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1929.

Di kalangan pakar Barat ada juga yang menggunakan istilah yang lain, seperti:

1. NEDERBURG - Wetten Adat

2. JUYNBOLL - Handleiding tot de kennis van de Mohammedansche wet

3. SCHEUER - Het personenrechts voor de Inlanders op Java en Madura

Dalam perundang-undangan Hindia Belanda, tidak secara keseluruhan menggunakan istilah Adat Recht. Ada beberapa peristilahan yang maksudnya adalah sama dengan hukum adat. Istilah-istilah dimaksud dapat disebutkan sebagai berikut:

  1. GODS DIENTIGE WETTEN, INSTELLINGEN EN GEBRUIKEN (Peraturan-peraturan Keagamaan, Lembaga-lembaga dan Kebiasaan-kebiasaan). Istilah ini digunakan dalam Pasal 75 ayat (3) Regeling Reglement (RR);
  2. GODS DIENTIGE WETTEN EN OUDE HERKOMSTEN (Peraturan-peraturan Keagamaan dan Naluri Lama). Istilah ini digunakan dalam Pasal 78 ayat (2) Regeling Reglemen (RR);
  3. INSTILLINGEN DES VOLK (Lembaga-lembaga Rakyat). Istilah ini digunakan dalam Pasal 128 ayat (4) Indische Staats Regeling (IS);
  4. MET HUNNE GODS DIENTEN EN GEWOONTEN SAMENHANGEN DE RECHTSREGELEN (Aturan-aturan Hukum yang Berhubungan dengan Agama-agama dan Kebiasaan-kebiasaan mereka). Istilah ini digunakan dalam Pasal 131 ayat (2) sub b Indische Staats Regeling (IS);
  5. GODS DIENTIGE WETTEN, VOLKS INSTILLINGEN EN GEBRUIKEN (Peraturan-peraturan Keagamaan, Lembaga-lembaga Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan);
  6. ADAT RECHT (Hukum Adat) , istilah ini digunakan dalam Stb. 1929 No. 221 jo 487.